Waria dalam Pandangan Sosial

on Minggu, 26 Desember 2010
Kontruksi tentang waria selama ini yang berkembang dimasyarakat dianggap sangat menjijikkan. Ia tidak saja tidak dianggap sebagai identitas gender yang otonom, lepas dari kontruksi laki dan perempuan, lebih dari itu ia dikontruksi sebagai bentuk lain yang harus dibunuh. Haram dalam perpektif agama-agama itulah salah satu dasar waria harus dilarang. Pemahaman atas tels agama selama ini tentang waria memang sangat tidak mengakomodasi keberadaannya. Waria oleh agama agama dianggap kelainan seksual sekaligus kelainan sosial yang harus diberantas. Tafsir tunggal agama dalam bentuknya heteroseksual jelaslah tidak mendapatkan tempat bagi munculnya gerakan homoseksual yang menjadi kebiasaan kaum waria selama ini.
Di samping bermasalah dimata agama, waria juga dianggap bermasalah dimata sosial. Hadirnya sosok waria yang berpenampilan molek, bak perempuan “monggoda” yang dietalasekan dijalan jalan besar perkotaan dianggap perusak rumah tangga orang. Bahkan perusak moral masyarakat, terutama kaum laki-laki, sehingga harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat umumnya (tentu yang masuk dalam hegemoni wacana seks tunggal). Atas dasar inipula, negara yang dalam bentuknya seperti polisi, polisi pamongpraja, atau dinas sosial kerapkali melakukan operasi penggerebekakka terhadap pangkalan pangkalan waria, saat beroperasi. Bahkan dalam banyak kasus, seperti belakangan ini yang terjadi di Surabaya, atas dasar penertiban sosial, banyak psk, dan waria mengalami tindak kekerasan oleh aparat negara saat terjadi operasi.
Jawabnya tentu dari perspektif mana kita memandang. Tapi yang pasti, waria khususnya di Indonesia adalah nagia dari komunitas sub altern yang tidak bersuara bebas untuk merepresentasikan kepentingan kepentingannya, termasuk memperjuangkan kepentingan kepentingannya dalam kebijakan politik negara. Seiring dengan suasana demokrasi yang berkembang belakangan ini di Indonesia beberapa kelompok organisasi yang berlatar belakang wariapun muncul. Organisasi kewariaan ini jelaslah hendak memperjuangkan kepentingan kepentingan kolektif mereka. Sebut saja IGAMA (Ikatan Gay Malang), atau Gaya Nusantara (di Surabaya), atau Iwama (Ikatan Waria Malang) setidak tidaknya hendak menyuarakan suara suara perih kaum gay dan waria yang selama ini ditindas oleh wacana mainstream (agama dan negara)